BESWAN DJARUM

BESWAN DJARUM
Hotel Santikan Semarang

Sabtu, 31 Desember 2011

Pendidikan Islam, Fundamentalisme dan Terorisme


A.      Definisi Terorisme Dan Fundamentalisme
Fundamentalisme merupakan istilah yang popular dari barat dan berisikan tipologi barat pula. Sementara dalam perspektif islam atau arab, fundamentalism memiliki makna yang berbeda. Hal ini menimbulkan banya misunderstanding mengenai penggunaan istilah fundamentalisme yang sering dicampuradukan. Dalam kamus islam tidak ada kata fundamentalisme yang ada dalah “Ushuliyah”  berasal dari kata dasar Al-Aslu yang berarti ‘dasar’ atau ‘kehormatan’.[1] Di dalam al Quran surah al Hasyr ayat 5, “wama qata'tum min linatin wa taraktumuha qa'imah ala ushuliha fabiizni al Allah wa liyuhziya al fasiqin” . Kata al-ashlu disana berarti yang kokoh di atas pondasinya atau teguh pendirian. Ayat lain yang terdapat kata al-ashlu, “alam tara kaifa dharaba Allahu matsalan kalmatan thayyibatan kasyajaratin thayyibatin ashluha tsabitun wa far'uha fi assama' . Al-ashlu di sana berarti akar.[2] Sedangkan Fundamentalisme dalam perspektif barat dijelaskan oleh filsuf Perancis yang akhirnya masuk islam, definisi ini bersandar pada kamus Larous Besar, fundamentalisme merupakan sikap stagnan dan membeku yang menolak seluruh pertumbuhan dan seluruh perkembangan. Geraudy juga menyimpulkan unsure-unsur fundamentalisme adalah sebagai berikut[3]: pertama, stagnasi, menolak menyesuaikan diri kekakuan yang menolak seluruh pertumbuhan dan perkembangan. Kedua kembali kemasa lalu dan menisbatkan diri kepad warisan lama(konservatif), ketiga tidak toleran, mengisolasi diri dari kebekuan madzab, stagnan,melawan dan membangkang.
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin” t e rre re ” yang berarti gemetaran dan” d e t e re r re” yang berarti takut. Dalam bahasa inggris instense fear and panic or a cause of it[4]. Yakni sebuah paham idiologi yang dipraktikan dalam rangka membuat ketakutan dan kepanikan yang berbentuk violence bahkan severe violence seperti pembunuhan terhada sayyidina Hussein di Karbala. Dalam literature sosiologi barat, terorisme  adalah salah satu bentuk aksi bermotif politik  yang menggabungkan unsure-unsur psikologis dan fisik yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntutan teroris terpenuhi[5]. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada non komformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain para militer, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. . Negara yang teribat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Pada Bulan November 2004 , Panel PBB mendifinisikan terorisme sebagai : ” Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans, when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government or international organization to do or to abstain from doing any act”. ( Yang dalam terjemahan bebasnya adalah segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yag serius bagi para penduduk sipil, non kombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu ). Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia hanya sekedar strategi. Banyak berbagai definisi yang terkait dengan istilah terorisme, yang menarik dicermatiadalah bahwa istilah terorisme tidak datang dari dunia timur, melainkan dari dunia barat sendiri. Ketika Amerika serikat menggembar-gemborkan tentang human right lebih-lebih nyawa begitu mahal di dalam negeri termasuk nyawa binatang pun mendapat perlindungan extra sehinga munculah berbagai organisasi penyayang binatang dan pecinta lingkungan. Tapi apa yang dilakukan Amerika terhadap Irak akan embargonya dengan dalih membungkan presiden Sadam Husain sehingga 1,5 juta penduduk Irak meninggal karena masalah kekurangan nutrisi dan makanan. Selain itu peperangan yang menewaskan warga sipil yang sangat tidak manusiawi.

B.       Daftar Aksi Terorisme di Indonesia
Sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dalam dan luar negeri. Dari hasil pengungkapan kasus di Indonesia merupakan jaringan teroris Internasional dimana keberadaanya dengan segala aktifitasnya tidak dapat terdeteksi secara dini sehingga sulit untuk dicegah dan ditangkal. Kejadian Menonjol. Berbagai peristiwa pengeboman memakan korban jiwa dan merusak sarana dan prasarana yang ada. Beberapa peristiwa aksi teroris yang terjadi signifikan di Indonesia antara lain :1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta 1999, di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta.2000, di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina2000 dan 2001, Peledakan di beberapa Gereja di malam Natal. 2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar 2003, Peledakan di JW Marriot2004, Peledakan di Kedubes Australia 2005. Peledakan bom Bali II Aksi teror tersebut bila terus berlanjut akan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional.

C.      Pemaknaan Jihad Yang Keliru
Tidak sedikit umat islam yang berpandangan bahwa “jihad”identik dengan perang ilmuwan barat mengidentikan jihad sama dengan violence. Berbagai peristiwa kerusuhan dan kekerasan di Indonesia dari pengeboman gereja sampai hotel-hotel, seperti di bali dan Jakarta, hal ini telah menambah daftar panjang yang semakin memperkuat kesan dan stereotype dunia barat atas islam. Pemahaman jihad yang keliru berawal dari pemahaman skriptualis yang salaf interpretatifyang berimplikasi pada krisis epistemology agama(Budhy Munawar Rahman) yaitu text keagamaan adalah ‘axiomatictruth’ yang bersifat konsisten,tidak dapat dirubah[6]. Banyak orang yang mengartikan jihad fi sabilillah sebagi perang dengan senjata atau dengan kekerasan padahal hal ini tentu keliru. Dengan memperhatikan islam sebagi landasan idiologis “jihad” dalam Alqur’an lebih cocok dimaknai lawan dari “qu’ud” artinya kondisi pasif. sebaliknya jihad merujuk pada keaktifan untuk agama Allah. Jihad fi sabilillah lebih ditekankan pada upaya perjuangan meningkatkan kegiatan ibadah dalam rangka mengabdi kepada Allah , bukan untuk kepentingan lainya. Dalam kamus besar bahasa arab, jihad berarti sungguh-sungguh, bekerja keras, mengerahkan kemampuan dan berdoa dengan semangat. Pengertian kebahasaan ini menjadi pemahaman yang paling mendasar di dalam Islam dengan artian mengajak umat Islam bersungguh-sungguh mengerahkan semua tenaga yang ada, baik yang bersifat materi maupun fisik, untuk senantiasa menjalankan ajaran agama Islam secara total, sepenuh hati, dan tulus. Adapun jihad secara istilah syar’i adalah; melakukan perubahan-perubahan positif secara sungguh-sungguh, semangat dan pantang menyerah, baik dalam diri sendiri sebagai umat Islam maupun di tengah kehidupan bermasyarakat untuk tujuan mulia dan tulus karena Allah SWT. Ibnu Abbas dalam kutipan tafsir Attabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah menjalankan ajaran dan perintah Allah SWT secara konsisten (istiqamah), walaupun mungkin banyak tantangan dan rintangan yang dihadapinya. Oleh sebab itu, jihad dapat pula dimaknai kesungguhan seorang muslim dalam mengamalkan ajaran agamanya secara total, benar, tidak kenal lelah dan pantang menyerah.
Dari banyak ayat yang menyebutkan jihad misalnya Al-Hajj : 15, Al-Ankabut : 6, At-taubah : 19,24, Al-Mutammainah : 1, Al-Hujurat : 15.tidak ada satupun ayat yang mengknotasikan jihad sebagai perang.ayat-ayat yang berhubungan dengan perang pada umumnya menggunakan istilah “qital”.
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurot: 15)
 
“Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(Al-Ankabut :6)

D.      Upaya Preventiv  dan Penanggulagan Pemerintah dalam Aksi Terorisme di Indonesia
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah khususnya langkah-langkah aparat keamanan dalam pengungkapan pelaku terorisme, mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam. Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidak percayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani terorisme di Indonesia. Selain itu kerjasama tingkat ASEAN telah dilaksanakan. Sikap kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi teroris, dapat dilihat dari kebijakan dan langkah-langkah antisipatif, terkait dengan peristiwa Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam melakukan pencegahan dan penanggunalanan terorisme pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga khusus guna menghadapi terorisme yang berkembang di tanah air belakangan ini, lembaga-lembaga tersebut antara lain [7]:
1.      Intelijen
Aparat intelijen yang dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003), yang telah melakukan kegiatan dan koordinasi intelijen dan bahkan telah membentuk Joint Analysist Terrorist (JAT) upaya untuk mengungkap jaringan teroris di Indonesia.
2.      TNI dan POLRI
Telah meningkatkan kinerja satuan anti terornya. Upaya penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai jaringan terorisme di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku masih mendapat reaksi kontroversial dari sebagian kelompok masyarakat dan diwarnai berbagai komentar melalui media massa yang mengarah kepada terbentuknya opini seolah-olah terdapat tekanan asing.
3.      Kerjasama Internasional
Berbagai upaya kerjasama telah dilakukan antara lain dengan beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia, bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, dan Jepang. Masalah ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia belum terealisasi.Implikasi terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya teror bom masih ada. Hal ini apabila tidak segera ditangani secara bijak akan mempengaruhi roda perekonomian. Di sisi lain, penindakan, penangkapan atau pemeriksaan oleh aparat terhadap siapa dan organisasi yang ada di masyarakat perlu sikap hati-hati, agar tidak menimbulkan sentimen negatif di kalangan masyarakat itu sendiri, pemerintah diangapnya diskriminatif atau muncul berbias pada permasalahan baru yang bernuansa SARA. Permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme yaitu : Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme masih lemah. Kualitas SDM mudah dimanfaatkan dan masih rentan terhadap aksi penggalangan menjadi simpatisan kelompok teroris. Tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap modus operandi teroris masih lemah. Kemampuan aparat keamanan dalam mendeteksi dini, menangkal, mencegah dan menangkap kelompok teroris masih terkendala baik peralatan maupun koordinasi di lapangan.
E.       Peran  Pembelajaran PAI di Sekolah dalam Upaya Menangkal Terorisme dari kaum  Fundamentalis
Pembelajaran pendidikan agama islam disekolah pada dasarnya adalah upaya menyiapkan peserta didik untuk mengamalkan ajaran agama mulai dari mengenal, memahami, menghayati, mengimanai serta menjadikan anak didik sebagai manusia yang bertaqwa serta berakhlak mulia hal tersebut bisa terjadi melalui berbagai macam kegiatan yang diberikan disekolah mulai dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas maupun non formal seperti ekstra kurikuler keagamaan Agama memiliki peran yang amt penting dalam kehidupan umat manusia . Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna damai dan bermartabat. Menyadari hal pentingnya peran agama bagi kehidupan manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam setiap kehidupan pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman dan penanaman nilai –nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk tuhan yang paling “seksi” Pendidikan agama islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada allah swt dan berakhlak mulia, serta bertujuan menghasilkan manusia yang ujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, dan produktif, baik personal maupun sosial. Dan apabila ingin ditinjau dari Pendidikan nasional, pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No.20 Thn 2003 Pasal 3). “Pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat” merupakan salah satu esensi utama Agama dan Pendidikan Agama sebagai satu-satunya media yang sempurna untuk pembudayaan itu. Pendidikan Agama termasuk Pendidikan Agama Islam di sekolah sesungguhnya memiliki landasan filosofi-ideologis dan konstitusional yang sangat kuat. Pada pembukaan (Preambul) UUD Negara RI Tahun 1945 a.l. dinyatakan “ Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur... Negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa....”. Selanjutnya dalam pasal 28E (1) dinukilkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran....(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan....”. Tertera juga pada Pasal 28 (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebesannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama...”. Semua yang tercantum dalam Preambule dan Pasal 28E/J tersebut dikuatkan dalam Bab XI Agama Pasal 29 “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Terkait dengan Pendidikan dan Kebudayaan sangat ditekankan komitmen konstitusionalnya dalam Bab XIII Pasal 31 a.l. butir “ (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. .....(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Dengan merujuk kepada tingginya peran agama bagi aura kehidupan hingga arah dan fungsi pendidikan rakyat Indonesia, maka pendidikan agama sangat strategis khususnya Pendidikan Agama Islam di Sekolah mengingat sekolah umum yang secara kuantitas jumlahnya demikian besar dengan peserta didik yang mayoritas Muslim. Melalui pendidikan agama, fungsi pendidikan sebagai sarana transformasi pengetahuan mengenai aspek keagamaan dapat terpenuhi (dalam ranah kognitif) dan pendidikan agama yang berfungsi sebagai sarana transformasi norma serta nilai moral bisa membentuk sikap (dalam ranah afektif) yang berperan dalam mengendalikan perilaku (dalam ranah psikomotorik) sehingga berwujud kepribadian manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan Agama Islam pada Sekolah memiliki kontribusi positif yang cukup efektif bagi pembentukan watak dan karakter bangsa yang bermartabat sejalan dengan tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tentang Sistem pendidikan Nasional Sisdiknas pasal 3 ) yang menyatakan “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berikutnya pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Dari landasan konstitusional di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan agama, khususnya agama Islam, di sekolah cukup menempati posisi strategis dalam mendukung pembangunan nasional, khususnya terhadap aspek pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Pada tataran yang lebih substansial, pendidikan Islam di sekolah juga diharapkan dapat menjadi sarana pendidikan keimanan, ketaqwaan yang tercermin dalam ketaatan beribadah serta karakter siswanya, sekaligus sebagai salah satu elemen penting pendorong terciptanya prinsip-prinsip toleransi, inklusifisme, dialog antar agama, serta pendidikan berwawasan multikultural. Namun betapapun idealnya tujuan di atas, kenyataan yang terjadi di masyarakat Indonesia justru menunjukkan bahwa selama ini pendidikan Agama Islam di sekolah masih belum mampu memperlihatkan hasil yang memuaskan dalam pencapaian pelbagai tujuan tersebut baik pada peserta didik yang masih berada pada umur interval proses pembalajaran maupun setelah menjadi alumni dan berkiprah di lapangan kerja dan komunitasnya. Hal ini dapat diindikasikan dari semakin maraknya konflik antar agama, gejala fundamentalisme dan radikalisme yang kian menguat, disorientasi moral relijius di masyarakat, serta konflik social yang melibatkan berbagai elemen agama dalam menyikapi realitas yang ada. Untuk itu pemahaman tentang substansi terorisme dan fundamentalisme perlu di internalisasikan secara benar dan tepat pada diri anak. Pemahaman terhadap ajaran agama islam secara benar sangat penting untuk mengatasi kemungkinan timbulnya kelompok-kelompok garis keras. Sikap merasa paling benar dalam beragama, menganggap orang lain salah, prilaku kekerasan hingga tindakan teror yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan ajaran agama merupakan perbuatan yang berlawanan dengan spirit islam, Islam adalah agama damai, tentram, menyelamatkan, dan rahmatan lil alamin Prilaku yang berlawanan dengan spirit islam tersebut tentu tidak muncul dengan begitu saja. Namun tentunya melalui proses yang cukup panjang. Prilaku tersebut tentu didasari oleh sebuah prinsip yang diyakini kebenarannya. Bila prinsip tersebut dikatakan berdasarkan agama tentu dikarenakan pemahaman terhadap agama yang dianutnya. Dengan demikian proses menuju sebuah pemahaman memiliki peran yang menentukan. Disekolah, proses ini dinamakan pembelajaran, dalam pembelajaran tersebut peran seorang guru pendidikan islam sangat menentukan. Seorang guru sangat diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang agama islam. Apabila dalam kenyataannya, pemahaman tersebut didapat dari masyarakat maka patut diduga bahwa pemahaman tersebut diperoleh dari hasil kajian-kajian keagamaan yang diikuti peserta didik. Ada satu hal yang harus diikuti bahwa proses pembeajaran baik disekolah maupun di masyarakat memiliki peran besar dalam membangun sebuah persepsi atau pemahaman terhadap agama. Kelompok-kelompok keras biasanya berdasarkan doktrin yang diterima dan ditanamkan oleh para Pembina, guru, dan tokoh-tokoh karismatik. Tidak sedikit ditemukan kenyataan ditengah masyarakat bahwa kekerasan terjadi karena didukung dan dimotori oleh orang-orang tertentu. Kelompok –kelompok keras memang berpotensi malahirkan faham yang radikal dan fundamental. Tindak kekerasan atau terorisme atas dasar agama biasanya muncul dari kelompok ini. Meskipun asumsi ini tidak selamanya dapat dibenarkan.Sebenarnya gerakan-gerakan fundamentalisme dan ekstremisme merupakan bahaya besar yang dihadapi oleh semua agama. Apabila ingin berkata jujur, rasanya didalam ajaran agama islam faktanya tidak ditemukan sepasal pun ayat yang menganjurkan atau mengarah kepada tindak kekerasan ataupun terorisme. Islam adalah satu-satunya agama yang lengkap dan komprerehensif karena diasaskan atas tiga komponen utama yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Ketiga komponen tersebut menjadi tonggak bagi kekuatan dan keindahan islam. Disamping itu, rahasia kejituan islam adalah berdasarkan kepada dua sumber yang berwibawa, yaitu al quran dan as-sunnah. Keselamatan umat islam didunia dan di akhirat ditentukan oleh sejauhmana mereka mampu berpegang teguh kepada keduanya.Berpegang pada pola pikir diatas , rasanya tidak masuk akal bila pembelajaran agama islam dikaitkan dengan jiwa terorisme. Tidak ada hal-hal yang bisa dikaitkan antara pembelajaran agama islam dengan aksi terror, berbuat sesuatu layaknya teroris. Islam adalah agama yang selalu mengajarkan hal-hal yang baik, yang agung, menciptaqkan tatanan masyarakat yang Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur. Sekalipun kita sudah yakin akan pembelajaran agama islam jauh panggang dari apinya terorisme, namun agar siswa disekolah benar-benar terhindar dari sifat tercela terseebut ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain sebagai berikut : [8]
1.      Pembelajaran agama islam disekolah harus memberikan pendidikan secara kaffah (menyeluruh) kepada generasi muda islam, yakni anak didik. Dlam hal ini, kekaffahan tersebut ditandai dengan materi ajar yang tidak hanya berkisar pada shalat, zakat, puasa, rukun islam, haji, dan sebagainya. Melainkan juga mencakup hal-hal lain yang bersejalan dengan materi ajaran agama islam dan dapat diterima, diterapkan dalam kehidupan disekolah dan ditengah masyarakat.
2.      Perlunya memberikan pemahaman secara benar tentang jihad sebagaiman diamanatkan dalam Al Quran. Siapapun tahu bahwa al quran adalah petunjuk dan penerang dunia. Adakah benar kiranya ada laku jihad yang diekspresikan dengan merusak, mengacau situasi, mengobrak-abrik system , bahkan merampok untuk kepentingan aksi yang baru saja terjadi, bahkan membunuh dengan alasan jihad?
3.      Perlunya menanamkan rasa kecintaan dan kepedulian sesama umat selaklu makhluk dan hamba allah sehingga terasa adanya rasa saling membutuhkan. Tujuannya agar tercapai iklim kerjasama dalam menadyung kebersamaan dalam hidup bermasyarakat dengan arti luas, yaitu di keluarga, di masyarakat sekolah, dan ditengah pergaulan hidup sehari-hari pada beragam situasi. Yang perlu disadarkan adalah bahwa diantara sesame umat pada dasarnya mempunyai kondisi saling bergantung sehingga tidak bisa hidup sendiri dan menyendiri.
4.      Kepada para siswa hendaknya selalu ditanamkan bahwa kita hidup dialam demokrasi yang memberikan pengesahan adanya hak hidup yang setara didepan umum atas keanekaragaman pandang dalam aneka dimensi, betapapun besar kadar perbedaannya. Perbedaan adalah rahmat dan semoga dapat diartikan sebagai kenikmatan.
5.       Kepada para siswa hendaknya selalu ditanamkan untuk menghindai simpulan kebenaran mutlak semu yang dengan mudah melahirkan kesimpulan yang seakan-akan masuk akal padahal mustahil.


[1] Dr. M. Imarah. Fundamentalisme dalam perspektif pemikiran barat dan Islam. ( Jakarta :Gema Insani.1999) hal, 25
[2] http://kemassmesir.multiply.com/journal/
[3] Ibid, hal 26
[4] Prof.Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.D. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta : Gama Media. 2003) hal 34
[5] Ibid, hal 35
[6] Haqqul Yaqin. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia. 2009. Yogyakarta : Sukses Offset. hal 29
[7] Tri Poetrantro, S.Sos Puslitbang Strahan Balitbang Dephan. 2007
 [8] http://erlanmuliadi.blogspot.com/2011/04/isu-isu-krusial-dalam-pembelajaran.html

EFEKTIFITAS KEPEMIMPINAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EFEKTIFITAS KEPEMIMPINAN


PENDAHULUAN


            Suatu organisasi didirikan sebagai suatu wadah untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut harus mengelola berbagai rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan organisasi. Pelaksanaan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh manusia yang bertindak sebagai aktor atau peserta dalam organisasi yang bersangkutan. Agar organisasi tersebut dapat berjalan dengan lancar dan efektif, diperlukan orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Kumpulan orang-orang itu terangkum dalam suatu tata hubungan (interaksi) dan adaptasi dalam sistem birokrasi.
            kepemimpinan adalah fenomena yang terdapat dalam setiap komunitas, karena dimana manusia berinteraksi maka disana timbul fenomena kepemimpinan, mulai dari interaksi dalam kelompok yang paling primitif sampai ke yang paling maju, mulai dari kelompok yang paling terkecil sampai ke organisasi yang paling besar. Faktor kepemimpinan dalam suatu organisasi menjadi sangat penting manakala individu/anggota organisasi memiliki dinamika yang tinggi dalam aktivitasnya disamping perubahan terus-menerus yang didorong oleh kemajuan teknologi, kata kunci dari fenomena ini adalah kemampuan untuk mempengaruhi anggota organisasi sehingga mereka dengan segala kesungguhan berusaha untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh faktor kepemimpinan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Efektifitas
            Berdasarkan Ensiklopedi Umum Administrasi, Efektivitas berasal dari kata kerja Efektif, berarti terjadinya suatu akibat atau efek yang dikehendaki dalam perbuatan. Setiap pekerjaan yang efektif belum tentu efisien, karena mungkin hasil dicapai dengan penghamburan material, juga berupa pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya.[1]
            Kata efektivitas sering diikuti dengan kata efisiensi, dimana kedua kata tersebut sangat berhubungan dengan produktivitas dari suatu tindakan atau hasil yang diinginkan. Suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Dengan demikian istilah efektif adalah melakukan pekerjaan yang benar dan sesuai serta dengan cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Sedangkan efisien adalah hasil dari usaha yang telah dicapai lebih besar dari usaha yang dilakukan.
            Dari pengertian diatas, efektivitas dapat dikatakan sebagai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dari 2 (dua) sudut pandang. Sudut pandang pertama, dari segi ‘hasil’ maka tujuan atau akibat yang dikehendaki telah tercapai. Kedua dari segi ‘usaha’ yang telah ditempuh atau dilaksanakan telah tercapai, sesuai dengan yang ditentukan. Dengan demikian pengertian efektivitas dapat dikatakan sebagai taraf tercapainya suatu tujuan tertentu, baik ditinjau dari segi hasil, maupun segi usaha yang diukur dengan mutu, jumlah serta ketepatan waktu sesuai dengan prosedur dan ukuran–ukuran tertentu sebagaimana yang telah digariskan dalam peraturan yang telah ditetapkan.

B.     Pengertian Kepemimpinan
                        Kepemimpinan adalah sebuah proses yang melibatkan seseorang      untuk   mempengaruhi orang lain dengan memberi kekuatan motivasi,   sehingga orang            tersebut dengan penuh semangat berupaya menuju             sasaran. Ahli manajemen, Peter F       Drucker secara khas memandang        kepemimpinan adalah kerja.[2] Seorang pemimpin      adalah mereka yang    memimpin dengan mengerjakan pekerjaan mereka setiap hari.             Pemimpin terlahir tidak hanya dalam hirarki managerial, tetapi juga dapat   terlahir dalam kelompok kerja non formal.
                                    Terry (1982:458) merumuskan kepemimpinan sebagai aktivitas mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sementara      itu Stogdil (dalam Sutarto, 1998:13) memberikan pengertian kepemimpinan sebagai       suatu proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisir      dalam usaha mereka menetapkan dan mencapai tujuan.
                                    Sedangkan Sutarto (1998:13) mendefinisikan kepemimpinan sebagai rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain       dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah          ditetapkan.
                        Konsep keberhasilan Kepemimpinan sama halnya konsep kepemimpinan,berbeda-beda dari penulis ke penulis. Keberhasilan kepemimpinan pada hakikatnya berkaitan dengan tingkat kepedulian seseorang pemimpin terlibat terhadap kedua orientasi, yaitu apa yang telah dicapai oleh organisasi (organizational achievement) dan pembinaan terhadap organisasi (organitational maintenance).[3]

C.     Prespektif Efektivitas
                                    Terdapat 3 perspektif yang utama didalam menganalisis apa yang disebut efektivitas organisasi (Richard M. Steers, 1985;5-7), yaitu :
1.      Perspektif optimalisasi tujuan, yaitu efektivitas dinilai menurut ukuran seberapa jauh suatu organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai. Pemusatan perhatian pada tujuan yang layak dicapai secara optimal, memungkinkan dikenalinya secara jelas bermacam-macam tujuan yang sering saling bertentangan, sekaligus dapat diketahui beberapa hambatan dalam usaha mencapai tujuan.
2.      Perspektif sistem, yaitu efektivitas organisasi dipandang dari keterpaduan berbagai faktor yang berhubungan mengikuti pola, input, konversi, output dan umpan balik, dan mengikutsertakan lingkungan sebagai faktor eksternal. Dalam perspektif ini tujuan tidak diperlakukan sebagai suatu keadaan akhir yang statis, tetapi sebagai sesuatu yang dapat berubah dalam perjalanan waktu. Lagipula tercapainya tujuan-tujuan jangka pendek tertentu dapat diperlakukan sebagai input baru untuk penetapan selanjutnya. Jadi tujuan mengikuti suatu daur yang saling berhubungan antar komponen, baik faktor yang berasal dari dalam (faktor internal), maupun faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal).
3.      Perspektif perilaku manusia, yaitu konsep efektivitas organisasi ditekankan pada perilaku orang-orang dalam organisasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi untuk periode jangka panjang. Disini dilakukan pengintegrasian antara tingkahlaku individu maupun kelompok sebagai unit analisis, dengan asumsi bahwa cara satu-satunya mencapai tujuan adalah melalui tingkahlaku orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut.

D.    Tingkat Efektivitas
                                    Gibson et al. (1994:30) mengemukakan masing-masing tingkat efektivitas   dapat dipandang sebagai suatu sebab variabel oleh variabel lain (ini berarti sebab        efektivitas). Sesuai pendapat Gibson tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa pada efektivitas individu terdiri dari sebab-sebab antara lain kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, sikap, motivasi dan stress. Efektivitas kelompok terdiri dari sebabsebab      keterpaduan, kepemimpinan, struktur, status, peran dan norma-norma. Untuk         efektivitas organisasi terdiri dari sebab-sebab lingkungan, teknologi, pilihan strategi, struktur, proses dan kultur. Semua ini mempunyai hubungan sebab variabel dari             variabel lainnya.

E.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan
            Hasil penelitian yang dilakukan oleh Goldsmith, sebagaimana yang dikutip oleh Aunurrahman (2009) menunjukkan bahwa pemimpin yang mampu menumbuhkan suasana dialogis, kesetaraan, dan tidak arogan atau nondefensif serta selalu berupaya mendorong sikap positif, akan dapat mendorong terjadinya keefektifan proses pembelajaran. Oleh sebab itu, pemimpin pendidikan ketika mengaplikasikan gaya atau aktivitas kepemimpinannya sangat tergantung pada pola organisasi yang melingkupinya. Dan juga dalam melaksanakan aktivitasnya pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
            Faktor-faktor tersebut sebagaimana sebagaimana yang dikutip Nanang fattah (2001), sebagai berikut:
1.      Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
2.      Harapan dan perilaku atasan.
3.      Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
4.      Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
5.      Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
6.      Harapan dan perilaku rekan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi untuk beprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto (2007), sebagai berikut:[4]
1.    Sebagai pelaksana (executive)
2.    Sebagai perencana (planner)
3.    Sebagai seorang ahli (expert)
4.    Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
5.    Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)
6.    Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)
7.    Bertindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
8.    Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)
9.    Merupakan lambang dari pada kelompok (symbol of the group)
10.                        Pemegang tanggungjawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)
11.                        Sebagai pencipta/ memiliki cita-cita (ideologist)
12.                        Bertindak sebagai seorang ayah (father figure)
13.                        Sebagai kambing hitam (scape goat)
Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagai mana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
1.      Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.
2.      Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.
3.      Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.
Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanakannya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses dimana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Untuk keberhasilan dalam pencapaian sutu tujuan diperlukan seorang pemimpin yang profesional, dimana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin.  Disamping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebasan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan

F.      Faktor- Faktor Efektivvitas Kepemimpinan
                        Ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas             kepemimpinan, diantaranya adalah:[5]
1.      Persepsi yang tepat.
Persepsi memainkan peran dalam mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Para manajer yang memiliki persepsi yang keliru terhadap pegawainya mungkin kehilangan peluang untuk mencapai hasil optimal. Oleh karenanya ketepatan persepsi manajerial sangat penting, dan hal itu begitu penting pada setiap model situasional.
2.      Tingkat kematangan.
Pemimpin dituntut untuk berkemampuan dan berkemauan mengambil tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri dengan memperhatikan tingkat kematangan dalam pengetahuan, keahlian dan pengalaman untuk melaksanakan pekerjaan tanpa pengawasan ketat dan juga kemauan untuk melaksanakan pekerjaan itu. Bagaimana pun, bawahan harus diberi perhatian serius ketika membuat pertimbangan tentang gaya kepemimpinan yang dapat mencapai hasil yang diinginkan.
3.      Penilaian yang tepat terhadap tugas.
Para pemimpin harus mampu menilai dengan tepat tugas yang dilaksanakan oleh bawahan. Dalam situasi tugas yang tidak terstruktur, kepemimpinan otokratik mungkin sangat tidak sesuai. Para bawahan memerlukan garis petunjuk, bebas bertindak, dan sumber daya untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin harus dapat dengan tepat menentukan kekurangan tugas bawahan sehingga pilihan gaya kepemimpinan yang layak harus dilakukan. Karena tuntutan ini, seorang pemimpin harus memiliki beberapa pengetahuan teknik tentang pekerjaan itu dan syarat-syaratnya.
4.      Latar belakang dan pengalaman.
 Di sini ditegaskan bahwa latar belakang dan pengalaman pemimpin mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan. Seseorang yang telah memperoleh keberhasilan karena berorientasi kepada hubungan mungkin akan meneruskan penggunaan gaya ini. Demikian juga, seorang pemimpin yang tidak percaya kepada para bawahannya dan telah menyusun tugas bertahun-tahun akan menggunakan gaya otokratik.
5.      Harapan dan gaya pemimpin.
Pemimpin senang dengan dan lebih menyukai suatu gaya kepemimpinan tertentu. Seorang pemimpin yang memilih pendekatan yang berorientasi pada pekerjaan, otokratik, mendorong keberanian bawahan mengambil pendekatan yang sama. Peniruan model pemimpin merupakan kekuatan untuk membentuk gaya kepemimpinan. Karena pemimpin memiliki berbagai landasan kekuasaan, maka harapan mereka adalah penting.
6.      Hubungan seprofesi.
Pemimpin membentuk hubungan dengan pemimpin yang lain. Hubungan seprofesi ini digunakan untuk tukar menukar pandangan, gagasan, pengalaman, dan saran-saran. Teman seprofesi seorang pemimpin dapat memberikan dukungan dan dorongan semangat bagi berbagai perilaku kepemimpinan, sehingga mempengaruhi pemimpin itu pada waktu yang akan datang. Teman-teman seprofesi merupakan sumber penting tentang perbandingan dan informasi dalam membuat pilihan dan perubahan gaya kepemimpinan.
            Efektifitas kepemimpinan juga bergantung pada pola relasi yang dikonstruk oleh pemimpin. Relasi pemimpin dengan para follower (guru dan karyawan) menjadi dinamis jika pola kepemimpinan yang digunakan bersifat partisipatif. Perencanaan sampai dengan semua putusan yang diambil oleh secara partisipatif berimplikasi positif terhadap tingkat kepengikutan para bawahan.[6
 
KESIMPULAN

            Efektifitas kepemimpinan diukur berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, produktivitas dalam mencapai tujuan-tujuan itu dalam pembinaan solidaritas kelompok.
            Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1.      Sifat-sifat atau kualitas pemimpin, yaitu sifat-sifat kepemimpinan sebagaimana telah disebutkan pada kualitas kepemimpinan.
2.      Kecakapan atau kemampuan pemimpin dalam mengarahkan bawahan, untuk mencapai tujuan bersama.
3.      Sifat hubungan antara pemimpin dengan terpimpin atau bawahan.
4.      Kemampuan dan tingkat kematangan bawahan. Sejauh mana kemampuan dan kecakapan bawahan untuk menetapkan tujuan dan pencapaiannya dengan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri.















DAFTAR PUSTAKA

Rohmat. 2010. Kepemimpinan Pendidikan: Konsep Dan Aplikasi. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
Sumijo, Wahyu. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik Dan Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

           


                [1] http://eprints.undip.ac.id/16102/1/ACHMAD_ROFAI.pdf
                [3] Wahyu Sumijo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik Dan Permasalahannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 20055), Hal. 49.
                [6] Rohmat, Kepemimpinan Pendidikan: Konsep Dan Aplikasi, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), Hal. 142.